Banyak sekali upaya manusia untuk mendefinisikan jati dirinya, mencari hal yang paling dekat dengan tabiatnya dan juga pemikirannya. Mulai dari zodiak, mbti, tipe kepintaran, pandangan politik, bahkan khodam… Beribu-ribu tes keperibadian dikerjakan, beribu-ribu stereotipe dilontarkan. Diantara sekian banyak opsi yang ada, gw merasa paling dekat terdefinisikan oleh “Alignment Chart” yang digunakan untuk membuat karakter Dungeon of Dragons (DnD). Silakan ambil waktu untuk menebak karakter anda sendiri dan menebak karakter gw dari chart di bawah ini.
Belakangan ini gw baru menyadari sesuatu, ternyata ada orang yang memiliki tendensi lebih besar untuk menyalahkan diri sendiri dibandingkan orang lain. Efeknya adalah ketika ketidakberuntungan terjadi kepada mereka, mereka merasa diri mereka lah penyebabnya. Kontras dengan cara berpikir gw yang lebih memilih untuk menyalahkan orang lain, keadaan atau memilih untuk tidak menyalahkan siapa-siapa dan menganggap kejadian itu sebagai bagian dari takdir. Prinsip gw adalah
“Why should I be too hard on myself? That’s other people’s job“
Tendensi ini gw yakini muncul secara natural, kita tidak bisa mengubahnya dan kita tidak bisa memaksa orang yang berbeda cara pikirnya untuk menerima masukan yang menurut kita masuk akal.
Banyak diskusi yang gw lakukan dengan teman-teman gw yang kadang mempertanyakan moralitas kami. Dari diskusi-diskusi tersebut gw merasa, sepertinya memang ada orang yang punya kecenderungan untuk melakukan selfless act, ada yang cenderung transaksional dan ada yang cara pikirnya memang tidak punya belas kasihan.
Gw adalah seorang True Neutral. Kecenderungan gw untuk selalu berada di tengah terlalu besar. Terlalu besar sampai gw sendiri kadang bingung, kok bisa? Mungkin gw bisa saja disebut sebagai orang yang indecisive, mencla-mencle dan main aman. Jujur, gw tidak terlalu peduli dengan apapun julukan dan stigma yang diberikan orang lain, selama gw merasa mendapat ketenangan hati dengan memilih untuk berada di tengah, maka gw akan terima apapun konsekuensinya. Sedikit banyak, itu adalah esensi dari true neutral.
Status Quo adalah hal yang ingin gw jaga, jika tidak ada pertikaian, itu sangat bagus, jika ada kebaikan itu juga sangat bagus, tapi kalau keos di situlah gw merasa harus mengembalikan keadaan. Tentu terdengar seperti orang yang good, TAPI poin pentingnya adalah, motivasi gw melakukan itu bukanlah buat kebaikan orang lain atau kepentingan bersama, melainkan untuk kepentingan diri sendiri karena tentu saja kalau keadaan secara kolektif tidak baik akan berpengaruh ke gw sebagai seorang individu. Gw sangat percaya bahwa kebaikan, kejahatan, keteraturan serta kekacauan pada hakikatnya akan dan perlu terjadi. Jadi menurut gw gaada gunanya untuk berusaha mengubah orang karena itu akan mengubah keseimbangan. Orang akan berubah ketika takdir berkata mereka harus berubah. Hal yang perlu gw ubah hanyalah keadaannya.
Mungkin pemikiran true neutral gw akan lebih mudah dimengerti dengan menggunakan beberapa contoh kejadian yang terjadi dalam hidup gw.
- Gw gapernah bisa nangis karena sebuah film, buku, atau musik. Sejauh-jauhnya gw hanya bisa merasa nyesek (nonton soulmate). Ada satu pengecualian yaitu lagu “Bunda”. Itu lagu gak ngotak, sedih banget! Gw gabisa merasakan emosi yang ekstrim. Sulit bagi gw untuk bisa nangis senangis-nangisnya, marah semarah-marahnya, depresi sedepresinya, ataupun bahagia-sebahagianya (kalau ketawa sih bisa kenceng). Bukan berarti gw tidak memiliki emosi. Kalau gw menangis, itu lebih karena gw merasa sepertinya ini yang harus dilakukan, justru kadang gw memaksa diri gw untuk nangis kalau gw sudah merasa itu saatnya gw untuk nangis dan gw rasa udah lama ga nangis. Alasan kenapa gw gabisa sedih sesedih-sedihnya adalah karena gw juga gabisa bahagia sebahagianya. Secara gak sadar, gw bilang sama diri sendiri, “lo harus fair sama diri lo”. Gw yakin bahagia itu sementara, makanya gw juga yakin bahwa sedih itu sementara. In a way ini bagus, tapi sering juga gw berpikir “Apa ya rasanya bisa bahagia selepas itu?”
- Gw pernah berada dalam sebuah organisasi dimana gw bersahabat dengan 2 orang yang memegang jabatan penting. Saat itu ada event dimana salah satu dari mereka matil (main tinggal). Temen gw yang satu udah misuh2 dan gamau ngurusin orang itu lagi, tapi gw merasa apa yang dilakukan orang itu salah dan dapat terulang kalau dia gasadar sehingga bisa berdampak ke organisasi dan pertemanan kita kedepannya. Jadi pada saat itu gw memilih untuk mengconfront teman gw itu. Gw mengconfront bukan untuk membuat dia mengubah karakternya. Gw hanya ingin dia tau apa yang gw butuhkan dari dia. Setelah gw confront, gw tetap berusaha memperbaiki hubungan kita.
- Di organisasi yang sama kita pernah punya beef dengan orang aneh pemegang jabatan di organisasi lain. Temen-temen gw udah gaada yang mau berdialog dengan orang itu. Akhirnya gw memutuskan untuk menjadi qurban untuk menjadi mediator. Cukup melelahkan, tapi gw merasa, ada hubungan yang harus dijaga karena kalau nggak, akan buruk untuk citra organisasi yang didalamnya terdapat diri gw sendiri. Terlebih lagi pada saat itu, sebenarnya gw mendapat kesenangan tersendiri saat gw “pura-pura” mendengarkan dan meminta maaf ke dia karena menurut gw asik banget melihat orang dengan ego tinggi lalu gw naikkin terus egonya. I love seeing that, I don’t know why.
- Gw gasuka ketika orang menghasut gw untuk membenci orang lain. Pernah terjadi waktu itu ada orang ngegosip ke gw tentang kejelekan orang yang gw respect. Gw iya-iyain aja, gw ga berusaha membela orang yang gw kenal dekat dan respect itu karena gw berpikir, ya kejadian atau sifat yang lo sebut atau it’s possible to happen or keluar dari orang itu tapi ya dia manusia, that’s what human does, make mistake. Gw juga ga lalu ngasih tau orang yang gw respect itu bahwa ada yang ngomongin dia. I just simply masukin ke telinga kanan keluar telinga kiri and forget about it. Because it’s not worth my hassle. What will I gain out of it? nothing.
- Gw gapernah bisa ngefans atau terobsesi sama sesuatu. Gw pernah nyoba untuk ngefans atau terobsesi sama grup musik, penyanyi, klub olahraga dan masih banyak hal lainnya. To be honest, I CAN’T GIVE ENOUGH SHIT untuk semuanya. I don’t care kalo ada yang ngatain mereka, gw gapeduli kalo ada yang ngerasa mereka jelek. Kalau salah satu mereka tiba-tiba diboikot karena mendukung zionisme, i would do the boikot willingly. Nothing worth the life of others anyway. Gw seorang pengkoleksi diecast, tapi sekarang gw merasa mengkoleksi sesuatu itu aneh. Kenapa gw terobsesi sama hal itu? It doesn’t do anything.
- Gw percaya bahwa kebebasan seseorang terbatasi oleh kebebasan orang lain. Meskipun gw gasuka dengan sebuah aturan, bukan berarti I wouldn’t abide to it. Akan tetapi, bukan berarti gw juga akan blindly abide to it. I question it while at the same time following it.
- Gw gak bisa berpihak, kalaupun berpihak, gw akan berpihak kepada diri sendiri. Meskipun gw tau apa yang dilakukan seseorang salah, gw ga akan point that out kalau itu gak merugikan gw. Gw rasa kalau perbuatan dia salah dan efeknya ke orang lain, ya itu masalah mereka. Meskipun gw punya kesempatan untuk solve permasalahan mereka, tapi untuk apa? Let them have their own story arc for their character development. Misal gw harus memilih untuk membela seseorang, pasti orang itu sangat sangat sangat sangat.. penting bagi gw karena I would rather die than picking a side.
- Banyak hal lain yang gw secara tidak sadar mengambil posisi tengah, seperti gw yang merasa ambivert, gw suka lukisan impresionis karena ga sepenuhnya abstrak tapi ga sepenuhnya realistis juga, gw mengklaim diri gw punya banyak opini liberal tapi di saat bersamaan juga gw punya banyak opini konservatif.
Sebenarnya karakter ini sudah bisa terlihat dari gw kecil. Waktu SMP gw menyadari bahwa gaada yang mau curhat ke gw karena jawaban gw bukanlah jawaban yang ingin mereka dengar. Gw merasa pada saat itu, ya lo semua butuh mendengar apa yang seharusnya lo dengar bukan apa yang lo mau dengar aja. Butuh bertahun-tahun sampai akhirnya gw menemukan formula untuk menjadi true neutral yang tetap disukai orang tanpa mengorbankan prinsip gw. Yep, compassion adalah hal yang perlu gw pelajari dan tidak datang secara natural ke gw.
Menjadi true neutral itu bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Seperti contoh-contoh di atas, justru gw banyak mengconfront sesuatu. Semua itu gw lakukan karena hal itu dibutuhkan untuk mengembalikan keadaan ke status quo sehingga timbul rasa nyaman untuk diri gw sendiri. At times, kepentingan diri gw sendiri sejalan dengan kepentingan bersama kadang tidak dan mungkin itu yang sulit diterima oleh banyak orang.
Menjadi orang yang berada di tengah itu sulit. Sebab orang yang ada di kiri selalu merasa kita di kanan dan orang yang ada di kanan selalu merasa kita di kiri. Sesungguh-sungguhnya berada di tengah adalah mendapatkan segalanya atau kehilangan segalanya.
Mungkin kalian penasaran ya kenapa judulnya “One Foot Out The Door.” Alasannya adalah dengan menjadi seorang true neutral, I don’t really have anything I hold onto dearly. Gw selalu meletakkan satu kaki gw di luar pintu so I can easily bail out anytime I want, keeping things dynamic and never attach myself to anything. Makanya mungkin satu hari gw bilang gw percaya akan hal ini, next time you see me maybe I will have a very opposing view on it.
“Never let them know your next move.“
Leave a Reply