Maybe we asked for too much?!
“Perginya biasanya 1 jam, pulangnya 1 jam lagi jadi total waktu di jalan itu 2 jam, kadang bisa 3 atau 4 jam”
Begitulah cerita dari sepupu gw yang bekerja di pusat ibukota. Beliau naik bus transjakarta buat berangkat dan pulang kerja karena itu yang paling dekat dengan rumahnya, di Jakarta timur.
Cerita itu sedikit banyak adalah gambaran pekerja lainnya di Ibukota yang harus berjuang cukup lama desek-desekkan dan macet-macetan di moda transportasi preferensi masing-masing.
Gw sendiri menggunakan sepeda motor untuk pergi kemana-mana. Sepeda motor menurut gw adalah kendaraan yang sangat tepat untuk digunakan dalam mengarungi jalanan jakarta yang sangat gila itu. Untungnya gw gaperlu terlalu sering pergi ke jakarta selama 4 tahun ke belakang ini (meskipun rumah gw di jakarta…, tapi jakarta timur) mengingat bahwa kampus gw terletak di Depok. Gw selalu melawan arus kemacetan sehingga gak terlalu stres.
Akan tetapi, ada saat dimana gw terpaksa harus pergi ke arah jakarta, mostly karena dulu gw sma di daerah jakarta selatan jadi temen-temen gw banyak yang tinggal di daerah sana dan juga mall-mall bagus adanya ya di jakarta (margo city juga udah bagus kok)
Disaat gw harus pergi ke Jakarta, disitu gw akan merasa seperti di neraka. Misal hari ini gw harus ke daerah tebet. Pertama-tama, untuk keluar dari daerah rumah gw ke arah cawang aja, gw butuh melewati yang namanya kramat jati. Yaps, jalanan kramat jati adalah jalanan terabsurd yang pernah gw temui. Gimana nggak? bayangin aja, dalam satu jalan, ada pasar tradisional, ada rs polri, ada lippo mall kramat jati, angkot dan banyak putaran. Sedangkan lebar jalannya cuma muat 2 mobil lebih sedikit. Ditambah kalau malam, penjual ikan dan sayur semuanya turun ke jalan…
Setelah berhasil lolos dari kemacetan kramat jati, gw akan dihadapkan dengan 2 pilihan. Mau lewat jalan dewi sartika atau mau lewat jalan mayjen sutoyo. Jl. Dewi Sartika itu macetnya gajelas gara-gara lampu merah, sempit pula jalannya, malesin. Jl. Mayjen Sutoyo lebih lebar jadi lebih enak untuk bermanuver kalau pakai motor, tapi jatohnya jadi jauh jaraknya dan.. biasanya pas nyampe halte bnn itu macet juga…
Intinya adalah, semua opsi yang ada itu ga mengenakkan. Ada sih opsi naik transportasi umum, dari rumah gw naik jaklingko sekali terus nyambung tj dan lewat tol whoosh whoosh nyampe bnn, tapi ya abis itu bingung lagi mau lanjut kemana, pada akhirnya harus jalan atau naik gojek. Ditambah lagi, waktunya pun gabisa diprediksi. Kalau gw pergi untuk janjian sama orang, it’s not a good option.
Sebenarnya judul tulisan ini muncul ketika gw awal-awal ke luar negeri, yaitu singapura dan taiwan. Dari dulu gw sadar bahwa traffic di jakarta memang separah itu, tapi setelah punya pembanding, semakin sadar bahwa traffic jakarta lebih parah lagi dari apa yang selama ini gw kira. Ditambah waktu itu lagi booming lagu taylor swift…
Maybe we got lost in translation, maybe i asked for too much
– Mbak Taylor
Gw menyadari bahwa 1-4 jam per hari terbuang untuk commuting itu ga wajar. Bayangin, waktu sebanyak itu harusnya bisa dipakai untuk istirahat, bukan capek2 di tengah jalan menghirup polusi dan ngedumel ke orang di sekeliling.
Permasalah kemacetan ini jujur gw udah gatau lagi penyebabnya apa… tata kota yang jelek, pembangunan yang ga merata, infrastruktur yang kendaraan pribadi sentris, transportasi umum yang juga overcrowded semuanya menyumbang peran sebagai penyebabnya.
Kalau mau dibenerin pun, pertanyaannya adalah “tapi mulai darimana?”
Bisa-bisanya ada jalur khusus bus transjakarta tapi kalau naik tj tetep ada kemungkinan untuk terkena macet. Di negara yang gw kunjungi, bus-bus nya jalur nya menyatu dengan jalur kendaraan biasa, tapi ya emang jalanannya ga terlalu macet aja sehingga kedatangan bus bisa diprediksi jadwalnya.
Well, “Jakarta is a city of uncertainty” after all and maybe it is true that we are asking for too much.
Leave a Reply